Translate

April 15, 2008

Orowane (Lelaki Bugis)

Oleh: Akbar Faizal


Punggungnya berkeringat dingin memencet tombol nomor-nomor telepon di sebuah wartel.“Halo? Kamu Saleng?”“Siapa ini? Halo?”“Sakka. Masih ingat? Kakaknya Beddu, murid pencak silatmu dulu”. Saleng terdiam sejenak.

“Astagfirullah....Kamu dimana? Berapa anakmu? Sudah kaya kamu ya”. Sakka gelisah. Ia menjawab apa adanya sambil menjelaskan nomor teleponnya ia dapatkan dari kawan mereka yang juga ikut merantau ke Nunukan. “Sersan Laobe masih tugas di kampung kita ya?” suaranya bergetar.“Siapa? Sersan Laobe? Oooh, sudah pensiun. Khan dia kawini si Saenab, anaknya Puang Ali? Mereka kini yang tempati rumah Puang Ali sejak meninggal tak lama setelah ia nikahi anaknya”.

Informasi itu sudah cukup baginya. Kapal penumpang milik Pelni yang ditumpanginya melewati Kodingareng, pulau para nelayan tangguh. Hamparan pasir memanjang ke utara tampak seperti lembaran sarung sutra Bugis yang baru saja lepas dari tenunan. Selain di musim barat, perairan itu menjadi pusat cengkerama ikan cakalang yang menjadi incaran nelayan pantai selatan Makassar. Lelaki beruban berwajah keras itu berusaha tenang namun gagal.

Tubuhnya ceking hitam bagai manekin tua tegak sia-sia di sudut belakang toko pakaian bekas.Berulang kali ia beringsut dari dinding tempatnya menyandar untuk memegang batang besi dingin pembatas di geladak sambil melepas pandang sejauh mungkin. Dadanya sesak. Ia menunduk gemetar. Cahaya lentera sesekali menyembul dari balik pohon kelapa yaang berjejer di sepanjang pantai.Tapi itu bagai belati yang perlahan tertancap di kelopak matanya. Ia mulai terdengar mengerang ditingkapi pukulan ombak menghantam buritan.

Pelabuhan Makassar tinggal sepelemparan batu. Raungan panjang sirene kapal sebanyak tiga kali membuatnya semakin menderita.Ia telah kembali ke tanah kelahirannya, negeri yang ia terus rindukan puluhan tahun terakhir. Negeri yang juga telah jadi saksi pada kehilangan kehormatannya sebagai lelaki Bugis.

Inilah perjalanan pulang yang dirancang rapi. Ia telah merencanakannya sejak meninggalkan negerinya itu tiga puluh tahun silam. Sengaja dipilihnya jadwal kapal yang tiba tepat tengah malam sehingga tak ada yang tahu kepulangannya. Tak ada kabar untuk keluarga demi sebuah penjemputan penuh isak tangis bahagia.Tak ada oleh-oleh radio transistor atau minyak wangi cap Ular. Tapi untuk sebuah janji, janji lelaki Bugis.

Lelaki itu hanya berharap sumur kampung di dekat hutan kecil samping kuburan masih ada.Lebih senang lagi jika gubuk sawah di dekatnya juga masih ada. Dan itulah yang ditujunya sesaat setelah kakinya menginjak daratan. Tak ada waktu untuk berdiri sejenak mengenali kembali bangunan-bangunan tua di sepanjang dermaga pelabuhan.

Ia tak ada urusan dengan kebijakan pembangunan kota itu.Tak ada pula yang menarik buatnya untuk ditengok ke luar jendela mobil atau sekadar bertegur sapa dengan perempuan tua di sampingnya sepanjang perjalanan bermobil selama tiga jam sebelum memutuskan turun di sebuah jalan lurus diapit persawahan luas. Tapi Sakka, si lelaki uban itu sebenarnya tak perlu khawatir wajahnya dikenali seseorang.

Pergi meninggalkan kampung sebagai laki-laki berdada bidang namun berjalan menunduk menjauhi kampung saat itu, ia kini datang dengan penuh uban ditemani tas lusuh dan sebilah badik di pinggang sebelah kiri. Dingin menusuk tulang. Suara adzan dari loudspeaker murahan terdengar dari kampung, kampung yang ia pernah miliki. Badannya menggigil tapi bukan karena dingin subuh buta itu. Sakka kenal suara adzan itu, Beddu adik kandungnya. Beberapa butir air mata jatuh ke pipinya yang kurus.

Ia mempercepat langkah melewati pematang sawah. Musim panen baru saja usai meninggalkan batang padi teronggok di samping pematang. Ia harus tiba secepatnya di sumur kampung sebelum warga kampung lainnya datang.Ia beruntung sumur itu masih ada. Hanya roda gayung yang telah berganti lebih besar terpasang kokoh melintang di atas lubang sumur.

Seutas tali karet menjulur ke dasarnya. Tapi tak ada lagi gubuk petani di dekatnya kecuali hutan kecil sekitar dua ratus meter sebelah timur sumur. Nafasnya tersengal menarik gayung lalu berwudhu. Dingin air mengusap wajahnya yang tua. Ia merintih lagi. Bergegas menuju sebatang pohon di hutan kecil lalu untuk salat subuh. Kini, ia menunggu. Mata tuanya tersiksa mengawasi penduduk kampung silih berganti mendatangi sumur, laki-laki perempuan.Usia membuatnya rabun. Beberapa diantara penduduk antri sambil menghabiskan tembakau kampung menunggu giliran mendapatkan air.

Matahari pagi menampakkan diri dan ia terpana.Tak ada yang berubah. Sawah, kubangan kerbau, pintu air dan saluran irigasi yang kering. Juga lengkung bukit yang membentengi kampungnya. Tapi sunyi. Hanya ada desah nafasnya sendiri.

Di sumur itulah semuanya terjadi 30 tahun lalu. Kemarau menyiksa kampungnya. Hanya sumur itu yang dituju semua orang kampung untuk segala kebutuhan akan air. Juga untuknya. Dua ekor kerbau kurus peninggalan ayahnya akan diberinya minum siang itu. Bertelanjang dada, Sakka menimba sumur yang hampir kering.Kadang terjaring pula tanah hitam dari dasar sungai. Ember miliknya belum penuh ketika terdengar suara dari belakang mengagetkannya.

“Hei, kamu jangan habiskan airnya. Sisakan ke orang lain juga”. Sakka berbalik. Ia mulai khawatir. Sersan Laobe berdiri tegak memegangi sarungnya. “
Tidak, Pak. Ini hanya untuk minum kerbau saya”.
“Sudah, cukup. Sapimu kan bisa menunggu giliran belakangan”.
Sakka diam terpaku tapi masih memegang tali gayung di bibir sumur. Sersan Laobe menatapnya nanar. Telah lama ia hindari tentara satu-satunya di kampungnya itu. Meskipun pendatang dari kampung sebelah, Laobe adalah momok bagi siapapun di kampung, termasuk dirinya.Entah kenapa, tentara itu dengan mudah melepaskan tembakan ke udara hanya karena tidak senang pemuda kampung duduk bercengkerama di warung jika malam tiba. Tidak sedikit yang mendapat tendangan sepatu lars atau tempelengan.Tak malu pula si sersan itu meminta pisang penduduk atau bahkan menebang sendiri tanpa harus meminta ijin pemiliknya.

Pada hari pasar kampung, para pedagang es campur telah mafhum jika Sersan Laobe ngeloyor pergi begitu saja tanpa pamit apalagi membayar.Tak ada yang berani bahkan untuk menatap matanya sekalipun. Jangan pernah mencoba berbisik jika berpapasan atau terlihat olehnya. Ia bisa marah besar karena mengira dirinya yang dijadikan obyek bisikan. Jalan kampung yang berdebu seakan disiapkan untuknya sendiri jika memacu motor merek Binter bututnya.Raungan celaka Binter jelek itu pertanda bagi semua orang untuk segera menyingkir dari jalan. Keadaan makin tak terkendali jika si tentara itu pulang mabuk sehabis minum tuak dari kampung sebelah. Sakka semakin khawatir. Ia tak pernah berhadapan langsung dengan si sersan kecuali hari itu, di sumur kampung, berdua pula.
“Kamu tunggu apa lagi? Ayo pergi sana,”
Sersan Laobe merangsek maju dengan gusar. Laobe merampas gayung dari genggaman Sakka yang bergerak mundur. Sambil berbungkuk, tangannya mencoba meraih ember yang baru terisi setengah. Namun sia-sia sebab entah sengaja atau tidak, tersenggol kaki Sersan Laobe hingga tumpah. Refleks wajahnya menatap Sersan Laobe yang ternyata juga menatapnya. Mereka beradu pandang meskipun hanya sedetik sebelum Sakka menunduk dan meraih embernya yang telah kosong. Tapi petaka itu akhirnya terjadi.
“Kenapa? Kamu marah ya? Kamu menantang saya?”
Sersan Laobe kini berdiri tegak menantang di hadapan Sakka yang terdiam. Ia menunduk sambil berdoa. Sia-sia. Dengan marah Sersan Laobe mencengkeram pundaknya yang basah oleh keringat dan memaksa wajah Sakka menatap kepadanya.

Plaaak!! Kepalan tangan si Sersan terasa panas di telinga kirinya. Beberapa detik pandangannya gelap sebelum jatuh sempoyongan ke belakang. Sersan Laobe memandangnya penuh kemenangan. Sakka berdiri menatap amat marah. Inilah bentuk penghinaan terbesar bagi lelaki bugis.Tempeleng adalah pembunuhan tidak langsung baginya.

Sersan ini pasti tak pernah tahu jika banyak pertempuran antar kerajaan di Tanah Bugis di masa lalu terjadi karena penghinaan seperti ini. Badannya gemetar. Matanya berair seakan cairan darah memaksa keluar dari kelopak matanya.
“Kita akan ketemu Pak Sersan,” Sakka berjalan mundur.
Dunia serasa runtuh di kakinya. Dadanya seakan terpanggang bara.
“Saya tunggu,” Sersan Laobe tersenyum sinis. Sakka berlari ke kampung. Laobe bersenandung menuju tengah sawah. Berak. Seakan tak terjadi apa-apa.

Esoknya, kampung geger. Sakka menghilang. Ibu dan adik-adiknya saling berpelukan di dekat tungku masak dalam tangis.Mereka telah bersumpah tak akan bercerita kepada siapapun tentang kejadian itu. Tapi Sakka berjanji akan kembali, entah kapan. Ia bersujud di ujung kaki ibunya, membasuh kaki wanita tangguh itu. Ia juga memeluk adik-adiknya satu per satu.

Alangkah menderitanya sang ibu.Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Anaknya adalah laki-laki Bugis, anak yang dilahirkannya dari seorang lelaki bugis yang tangguh bak karang. Tapi kini anaknya dihina. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi datang ke sumur saksi penghinaan anaknya. Tak akan pernah lagi. Dan waktu itu datang juga. Setelah menunggu dua hari di hutan kecil, tentara yang membuatnya pergi selama 30 tahun akhirnya muncul juga ke sumur itu.

Meskipun juga telah beruban, tapi badannya masih kekar seperti dulu. Kaki Sakka gemetar mendekati sumur. Lama nian derita batin ditanggungnya di perantauan.Tiga puluh tahun menunggu dibekap rindu pada ibu dan adik-adiknya adalah penderitaan tiada tara baginya. Namun derita atas hina dari si sersan jauh lebih menyiksa. Berkali-kali tubuhnya terbangun menggigil bermandikan keringat di tengah malam buta.Mimpi buruk peristiwa itu menghantuinya hingga uban tumbuh di rambutnya. Tapi ia telah bersumpah tak akan menikah sebelum mimpi buruk itu berakhir. Sebelum janji terpenuhi, janji seorang lelaki.

Sersan Purnawirawan Laobe tak menyadari semuanya. Bahkan setelah Sakka menegurnya.
“Masih ingat sama saya sersan?”, ia berdiri terpacak di hadapan tentara tua itu.
“Siapa ya? Dari mana?”
“Saya Sakka yang kamu tempeleng 30 tahun lalu di sumur ini”.
Mata Sersan Laobe mengernyit, mencoba mengingat sebelum terkesiap. Mundur tanpa sadar. Tapi ia mencoba tegar dengan sebuah senyum kecil.
“Kenapa baru sekarang datangnya,”
“Saya menunggu kamu pensiun. Saya menghormati baju ijo-mu.”
Tak sekalipun matanya lepas dari si Sersan di hadapannya.
“Tapi kita sudah tua. Itu sudah lama sekali,” dengan nada putus asa Sersan Laobe mencoba bertahan.
“Janji adalah janji. Saya hanya berusaha menepati janji,” badan Sakka mengeras.
Tentara tua itu mundur selangkah. Terlambat. Sakka mencabut badik yang terselip di pinggang kirinya. Bagai kilat, ia melompat ke depan dan menusuk dada kiri, lalu perut tentara tua itu. Mata Sersan Laobe membelalak memegangi dada yang bersimbah darah.Beberapa tikaman kembali datang sebelum Laobe rebah ke tanah lalu mati dengan menderita.

Sakka berjalan tenang ke arah selatan menjauhi kampung. Tak sekalipun ia menoleh.Penduduk kampung kembali geger seperti 30 tahun lalu. Kentongan dipukul bertalu-talu tanda bahaya. Ibu Sakka yang terbaring sakit sejak lama terlompat bangun. Beddu berlari kencang menerobos kebun pisang dan melompat ke atas rumah panggung reyot mereka.
“Sersan Laobe mati dengan penuh tikaman di dekat sumur, Bu!” Sang Ibu kembali jatuh terduduk menangis tersedu di ujung dipan.
“Anak lelakiku telah kembali!”