Translate

June 28, 2009

Ada yang janggal dari sebuah demokrasi kita


Seiring akan dilaksanakannya pesta demokrasi pilpres, hasil quickcount, stasiun televisi lokal yang di beri label tv pemilu, berbagai tv shows politik tiada henti, social media berbasis politik, berbagai berita politik yang kian deras mengalir, saya menemukan diri saya tertegun dengan berbagai pertanyaan:

Kenapa sih banyak orang mengagungkan demokrasi?

Bahkan setahu saya, salah satu alasan Bush menyerang irak adalah for the sake of democracy: demi menegakkan demokrasi. Lalu ada lagi satu hal yang menimbukan pertanyaan di kepala saya: para pengamat politik yang dengan bangganya menyatakan fakta bahwa negeri kita adalah negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Sebentar dulu.

Sebenarnya, what’s the point of democracy? Apa sih yang menjadikan konsep para filosof ini sedemikian agungnya, bahkan menjadi justifikasi seorang pemimpin menginvasi bangsa lain? Satu konsep yang sedemikian diagung-agungkan dan di elu-elukan seperti ini:

kita, bangsa yang berdemokrasi

kita sedang berada di dalam tahap pendewasaan demokrasi

pendemokrasian indonesia

Penting untuk diketahui, saya bukanlah aktifis kiri, kanan, golongan hitam, putih, atau apapun itu. Saya hanya seorang warga negara yang kritis dan mencoba mengkritisi sesuatu di sekitar saya, dalam proses pendewasaan saya.

Yang menjadi pertanyaan saya sebenarnya cukup sederhana: Apa sih esensi dari demokrasi? Kekuasaan berada di tangan rakyat? Itu makna etimologisnya. Yang saya lihat, demokrasi hanya satu konsep yang aplikasnya adalah pemilihan umum. Voting. Satu hal yang membuat saya agak resah: pemimpin dipilih bukan berdasarkan kemampuan yang sebenarnya, namun dipilih berdasarkan kemampuannya meraih simpati publik. Dominasi mayoritas atas minoritas.

Saya jadi teringat salah satu status facebook seorang teman yang saya baca beberapa hari yang lalu. kurang lebih isinya begini:

"Dalam demokrasi, 1 suara cendikia yang memahami kapasitas calon pemimpin = 1 suara rakyat yang sudah “tertipu” oleh iklan sebuah media".

Pertanyaan retorisnya, mana yang lebih banyak: cendikiawan yang paham kapasitas calon pemimpinnya atau rakyat yang sudah terpengaruh oleh iklan media dan survei bayaran?

Ini yang membuat saya merasa ada yang janggal dengan demokrasi.

No comments: